
Sejarah singkat KH ABDURAHMAN WAHID
( GUSDUR )
Selain pernah menjadi Presiden RI, Ketua Umum PBNU, Gus Dur adalah
orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Doktor Kehormatan
terbanyak. Sepanjang hidupnya, Gus Dur mendapatkan 10 gelar Doktor
kehormatan. Inilah perjalanan hidup Gus Dur.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Nama lengkapnya
Abdurrahman Wahid. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat
dalam komunitas muslim Jawa Timur.
Kakek Gus Dur adalah KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Sementara, kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar
pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny Hj Sholehah, adalah putri
pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur, pernah secara terbuka pernah menyatakan bahwa dia memiliki
darah Tionghoa. Gus Dur bilang bahwa dia adalah keturunan dari Tan Kim
Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng
Hwa), pendiri Kesultanan Demak.
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri
Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[5] Tan Kim Han sendiri
kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis,
Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir
Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Pada tahun 1944, Abdurrahman Wahid pindah
dari
Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi
yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki
Indonesia.
Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus
Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang
kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Gus
Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah
ke SD Matraman Perwari. Sejak muda, Gus Dur juga diajarkan membaca buku
non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas
pengetahuannya.
Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya
sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada bulan April
1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954. Dia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas.
Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Gus Dur
pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo.
Gus Dur mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan
pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).
Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang.
Di sana, sementara dia melanjutkan pendidikannya sendiri, Gus Dur juga
menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala
sekolah madrasah.
Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah sastra, yaitu
majalah Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Setelah itu, Gus Dur belajar di
Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir.
Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa
Arab, Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas
remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab.
Karena tidak mau menunjukkan kemampuan bahasa Arab, Gus Dur terpaksa
mengambil kelas remedial. Gus Dur menikmati hidup di Mesir pada tahun
1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola.
Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut.
Pada akhir tahun, Gus Dur berhasil lulus kelas remedial Arabnya.
Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus
Dur kecewa. Dia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan
menolak metode belajar yang digunakan Universitas